Minggu, 03 Juli 2016

Kisah Haru JK dan Athirah

Kisah Haru JK dan Athirah, Ibunda Tercinta yang Meninggal dalam Pelukannya

DI balik setiap manusia besar selalu ada kisah manusia-manusia besar. Di balik setiap keberhasilan, selalu saja ada kisah tentang mereka yang setia menebar benih-benih keberhasilan. Di bumi Anging Mammiri, terdapat satu kisah yang menyentuh hati tentang seorang anak yang tak meninggalkan ibunya selama lebih 40 tahun, serta kelembutan seorang ibu yang serupa embun dan mengantarkan anaknya hingga kursi Wakil Presiden RI. Ibu itu adalah Athirah, ibunda dari Muhammad Jusuf Kalla.

SUATU hari, di akhir tahun 1940-an. Nun jauh di desa Bukaka, Bone, Sulawesi Selatan, seorang ibu tengah menidurkan putranya. Ibu itu berbaju khas seorang wanita pedesaan. Ia bersenandung untuk anaknya dengan syair berbahasa Bugis, “Anakku. Semoga engkau panjang umur dan menjadi orang yang melampaui apa yang dicapai orang dalam kebaikan.”

Ibu itu menatap anaknya dengan penuh kasih. Langit dan bumi menjadi saksi betapa dirinya amat mencintai anaknya. Ia kemudian berzikir sembari melepas ribuan harapan agar kelak sang anak bisa menjadi manusia berguna. Hari itu, di pertengahan bulan puasa, sang ibu lalu membagikan sarung kepada banyak warga Bukaka, sembari berpesan, “Doakan supaya Ucu bisa jadi bupati.”

Bone terletak tak jauh dari pesisir laut Sulawesi. Lelaki Bone adalah para petarung yang menjadikan laut sebagai arena untuk mengasah kecakapan. Mereka berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh. Para pelaut Bugis telah lama masyhur dan memijakkan kaki di banyak tempat, mulai dari tanah Johor hingga Madagaskar.

Banyak pula di antara mereka yang menjadi pedagang dan sukses berniaga di mana-mana. Salah satu dari sekian banyak pedagang sukses itu adalah Hadji Kalla. Lelaki asal kampung Nipa di Bone ini adalah tipikal pedagang tahan banting yang telah berdagang sejak usia muda. Mulanya ia pedagang biasa di dekat Pelabuhan Bajoe.

Selanjutnya, ia merambah ke bisnis transportasi, perdagangan lintas benua, hingga akhirnya membuka perusahaan NV Hadji Kalla. Ia kemudian dijodohkan dengan Athirah, perempuan lembut yang selalu bersenandung untuk anaknya.

Sejarah kemudian mencatat bahwa sang anak, yang dipanggil Ucu itu, telah jauh melampaui harapan orangtuanya agar dirinya menjadi bupati. Anak itu menjadi pemilik banyak perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan orang.

Anak itu melangkahkan sebagai seorang wakil presiden, pada sebuah jabatan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Anak itu telah menjadi pejuang kemanusiaan dan perdamaian, memberikan banyak kontribusi bagi tanah air dan nusa bangsa.

Tak banyak yang tahu kalau sukses Hadji Kalla dan putranya Jusuf bersumber dari mata air seorang perempuan bernama Athirah. Perannya tak kecil. Athirah bukanlah seorang perempuan yang terpenjara di rumah dan hanya menanti suami sepanjang hari.

Athirah adalah seorang pekerja keras yang punya visi hebat dalam bisnis. Ia sukses mengelola bisnis kain sutera dengan pelanggan yang tersebar ke mana-mana. Ia pulalah yang kemudian membimbing Jusuf Kalla memasuki dunia bisnis.

Perempuan itu lahir tahun 1924 di kampung Bukaka, Bone. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus ibu rumah tangga.

Meskipun Athirah dijodohkan dengan Hadji Kalla pada usia 13 tahun, ia mencintai suaminya sepenuh hati. Meskipun pendidikan formalnya hanya di level sekolah dasar, ia ikut terjun dalam bisnis penjualan kain sutra.

Secara rapi ia mencatat semua pembukuan usaha dalam dua huruf yakni huruf latin dan huruf lontara, yang digunakan oleh orang Bugis. Ia rutin menghitung hasil penjualannya setiap hari menjelang tidur dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan dikelolanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla dan anak-anaknya. Catatan pembukuan dilakukannya setelah salat subuh.

Visi Athirah sangat kuat. Jusuf menuturkan bahwa pada pada tahun 1965, bisnis sedang lesu. Beberapa tahun sebelumnya, Athirah telah memiliki firasat akan iklim bisnis yang akan terpuruk.

Athirah lalu membeli banyak emas batangan, yang kemudian ditanam di bawah tempat tidurnya. Hanya Hadji Kalla, Athirah, dan Jusuf sendiri yang tahu posisi emas tersebut. Ketika krisis ekonomi menghantam dan nilai rupiah terjun bebas, ibunya lalu memerintahkan Jusuf untuk mengambil emas itu sedkit demi sedikit untuk membayar semua gaji karyawannya.

Ketika ekonomi membaik, emas itu kemudian menjadi awal dari usaha NV Hadji Kalla yang lalu mengibarkan bendera di banyak ranah bisnis. Tanpa visi Athirah, tak akan pernah ada kisah tentang salah satu kelompok usaha pribumi paling kuat di Sulawesi Selatan.

Pada ayahnya, Jusuf belajar tentang ketangguhan dalam bisnis serta kemampuan melihat sisi baik dari setiap masalah. Sedang pada ibunya Athirah, ia belajar bagaimana menjadi seorang manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya.

Ibunya menitipkan banyak filosofi kehidupan, yang kemudian menjadi pegangan hidupnya. Kata Jusuf, ibunya pernah berkata, “Kalau kau sudah naik mobil, lihat orang naik motor, dan kalau kau naik motor lihat orang naik sepeda. Kamu akan merasa lebih baik dan mensyukuri hidup. Jangan berpikir bahwa ketika kamu naik motor tiba-tiba iri saat melihat orang naik Mercy, maka pastilah kamu akan susah tidur.”

Kisah Poligami

Banyak yang bertanya, mengapa Jusuf Kalla justru tetap setia berkarier dan berbisnis di Makassar? Mengapa ia tak berpikir untuk berekspansi ke Jakarta lalu membangun usaha besar di sana?

Pertanyaan ini amat menarik. Saya pun berusaha untuk menemukan jawabannya. Pada awal Orde Baru, banyak pengusaha yang berbondong-bondong ke Jakarta dan memulai bisnis ketika ekonomi sedang membaik. Tapi Jusuf justru memilih tetapbertahan di Makassar. Ia juga tak tergoda untuk bekerja di instansi lain setamat kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin.

Saya menemukan jawabannya pada novel Athirah, yang ditulis Alberthiene Endah, terbita Noura. Ternyata, Jusuf bertahan di Makassar demi untuk menemani sang ibu yang saat itu merasa sendirian.

Satu fakta mencuat bahwa di balik kisah kesuksesan keluarga itu, terdapat satu kisah mengharukan tentang prahara keluarga yang dialami Athirah. Tak banyak yang tahu bahwa sejak muda, Jusuf telah melihat langsung kesedihan ibunya Athirah yang hanya bisa dipendam sejak ayahnya berpoligami.

Tahun 1955 adalah tahun paling berat bagi Jusuf. Ia menyaksikan kesedihan ibunya yang menjalani hari-hari serba berubah sejak suaminya menikah lagi. Bapaknya mulai jarang pulang ke rumah.

Jusuf menjadi tempa bagi ibunya untuk bercerita banyak hal. Pada Jusuf, ibunya menitipkan semua perasaan serta kegalauannya. Dalam usia muda, keadaan telah ‘memaksa’ Jusuf untuk menjadi lelaki dewasa yang mendampingi semua aktivitas ibunya, sekaligus menjadi ayah bagi empat saudaranya.

Sebagaimana halnya wanita Bugis pada masa itu, Athirah tidak banyak bercerita tentang perasaannya pada sang suami. Ia lalu mengalihkan energinya pada usaha yang dikelolanya. Ia menjadi amat kreatif dan selalu bergerak untuk membesarkan usaha. Ia aktif berorganisasi di Muhammadiyah.

Ia juga mengajak anak lelakinya Jusuf untuk terjun langsung dan mengawal banyak usaha. Hingga akhirnya, Hadji Kalla pun memercayakan Jusuf untuk menangani semua unit usaha lainnya. Di tahun 1982, Athirah meninggal dunia dalam pelukan Jusuf. Tiga bulan setelahnya, Hadji Kalla juga meninggal saat menyadari kesedihan istrinya sejak dirinya berpoligami.

Selama 40 tahun, Jusuf menjadi sahabat terdekat sekaligus tempat bercerita ibunya yang membesarkan semua anaknya. Semua kearifan itu diserap dan diterapkannya ketika mengembangkan bisnis NV Hadji Kalla dan melebarkannya di kawasan Indonesia timur.

Kisah mereka mengingatkan saya pada tuturan Malcolm Galdwell dalam buku Outlier(2008) bahwa di balik setiap pribadi besar, selalu ada konteks sosial serta manusia-manusia yang berperan besar. Bahwa di balik kisah tentang kehebatan satu tokoh, selalu saja ada pengalaman dan latar keluarga yang kemudian membesarkan seseorang untuk mengambil banyak peran strategis.

Peran besar Athirah pada Jusuf, mengingatkan saya pada syair Kahlil Gibran: “Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan. Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan. Manusia yang kehilangan ibunya berarti kehilangan jiwa sejati yang memberi berkat dan menjaganya tanpa henti…” (Kompasiana.com/Yusran Darmawan)

Tidak ada komentar:

Artikel Terpopuler